The home made kazoku

Rabu, 17 Maret 2010

Pengrajin emas dan kuningan

Di sebuah negeri,
hiduplah dua orang
pengrajin yang tinggal
bersebelahan. Seorang
diantaranya, adalah
pengrajin emas,
sedang yang lainnya
pengrajin kuningan.
Keduanya telah lama
menjalani pekerjaan
ini, sebab, ini adalah
pekerjaan yang
diwariskan secara
turun-temurun.
Telah banyak pula
barang yang
dihasilkan dari
pekerjaan ini. Cincin,
kalung, gelang, dan
untaian rantai
penghias, adalah
beberapa dari hasil
kerajinan mereka.
Setiap akhir bulan,
mereka membawa
hasil pekerjaan ke
kota. Hari pasar,
demikian mereka
biasa menyebut hari
itu. Mereka akan
berdagang barang-
barang logam itu,
sekaligus membeli
barang-barang
keperluan lain selama
sebulan.
Beruntunglah, pekan
depan, akan ada
tetamu agung yang
datang mengunjungi
kota, dan bermaksud
memborong barang-
barang yang ada
disana. Kabar ini tentu
membuat mereka
senang. Tentu, berita
ini akan membuat
semua pedagang
membuat lebih banyak
barang yang
akan dijajakan.
Siang-malam,
terdengar suara logam
yang ditempa. Setiap
dentingnya, layaknya
nafas hidup bagi
mereka. Tungku-
tungku api, seakan tak
pernah padam. Kayu
bakar yang tampak
membara, seakan
menjadi penyulut
semangat keduanya.
Percik-percik api yang
timbul tak pernah di
hiraukan mereka.
Keduanya sibuk
dengan pekerjaan
masing-masing. Sudah
puluhan cincin, kalung,
dan untaian rantai
penghias yang siap
dijual.
Hari pasar makin
dekat. Dan lusa,
adalah waktu yang
tepat untuk
berangkat ke kota.
Hari pasar telah tiba,
dan keduanya pun
sampai di kota.
Hamparan terpal telah
digelar, tanda barang
dagangan siap
dijajakan. Keduanya
pun berjejer
berdampingan.
Tampaklah, barang-
barang logam yang
telah dihasilkan.
Namun, ah sayang,
ada kontras yang
mencolok diantara
keduanya.
Walaupun terbuat dari
logam mulia, barang-
barang yang dibuat
oleh pengrajin emas
tampak kusam.
Warnanya tak
berkilau. Ulir-ulirnya
kasar, dengan pokok-
pokok simpul rantai
yang tak rapi. Seakan,
sang pembuatnya
adalah seorang yang
tergesa-gesa. “Ah,
biar saja,” demikian
ucapan yang terlontar
saat pengrajin
kuningan menanyakan
kenapa perhiasaannya
kawannya itu tampak
kusam. “Setiap orang
akan memilih
daganganku, sebab,
emas selalu lebih baik
dari kuningan, ” ujar
pengrajin emas lagi,
“ Apalah artinya loyang
buatanmu dibanding
logam mulia yang
kupunya, aku akan
membawa uang lebih
banyak darimu. ”
Pengrajin kuningan,
hanya tersenyum.
Ketekunannya
mengasah logam,
membuat semuanya
tampak lebih bersinar.
Ulir-ulirnya halus.
Lekuk-lekuk cincin dan
gelang buatannya
terlihat seperti
lingkaran yang tak
putus. Liku-liku rantai
penghiasnya pun lebih
sedap di pandang
mata. Ketekunan,
memang sesuatu yang
mahal. Hampir semua
orang yang lewat, tak
menaruh perhatian
kepada pengrajin
emas. Mereka lebih
suka mendatangi, dan
melihat-melihat cincin
dan kalung kuningan.
Begitupun tetamu
agung yang berkenan
datang. Mereka pun
lebih menyukai benda-
benda kuningan itu
dibandingkan dengan
logam mulia. Sebab,
emas itu tidaklah
cukup membuat
mereka tertarik, dan
mau membelinya.
Sekali lagi,
terpampang
kekontrasan di hari
pasar itu. Pengrajin
emas yang tertegun
diam, dan pengrajin
kuningan yang
tersenyum senang.
Hari pasar telah usai,
dan para tetamu telah
kembali pulang. Kedua
pengrajin itu pun telah
selesai membereskan
dagangan. Dan
agaknya, keduanya
mendapat pelajaran
dari apa yang telah
mereka lakukan hari
itu.
***
Teman, ketekunan
memang sesuatu yang
mahal. Tak banyak
orang yang bisa
menjalani pekerjaan
ini. Begitupun juga
kemuliaan dan harga
diri, tak banyak orang
yang menyadari,
bahwa kedua hal itu,
kadang tak berasal
dari apa yang kita
sandang hari ini.
Setidaknya, tindak-
laku kedua pengrajin
itu, adalah potongan
siluet kehidupan kita.
Ketekunan, adalah
titian panjang yang
licin berliku.
Seringkali, jalan
panjang itu membuat
kita terpelincir, dan
jatuh. Seringkali pula,
titian itu menjadi
saringan penentu bagi
setiap orang yang
hendak menuju
kebahagiaan di ujung
simpulnya. Namun,
percayalah, ada
balasan bagi setiap
ketekunan. Di ujung
sana, akan ada
sesuatu yang
menunggu setiap
orang yang mau
menekuni jalan itu.
Emas dan kuningan,
bisa jadi punya nilai
yang berbeda. Namun,
apakah kemuliaan
dinilai hanya dari apa
disandang keduanya?
Apakah harga diri
hanya ditunjukkan
dari simbol-simbol
yang tampak di luar?
Sebab, kita sama-sama
belajar dari pengrajin
kuningan, bahwa
loyang, kadang
bernilai lebih
dibanding logam
mulia.
Dan juga bahwa
kemuliaan, adalah
buah dari ketekunan.
Bisa jadi saat ini kita
pandai, kaya, punya
kedudukan yang
tinggi, dan hidup
sempurna layaknya
emas mulia. Namun,
adakah semua itu
berharga jika ulir-ulir
hati kita kasar dan
kusam? Adakah itu
mulia jika, lekuk-lekuk
kalbu kita koyak dan
penuh dengan
tonjolan-tonjolan
kedengkian? Adakah
itu semua punya
harga, jika, pokok-
pokok simpul jiwa
yang kita punya, tak di
penuhi dengan simpul-
simpul ikhlas dan
perangai yang luhur?
Teman, mari kita asah
kalbu dan hati kita
agar bersinar mulia.
Mari, kita bentuk ulir
dan lekuk-lekuk jiwa
kita dengan
ketekunan agar
menampilkan cahaya-
Nya. Susunlah simpul-
simpul itu, dengan
jalinan keluhuran budi
dan perilaku.
Tempalah dengan
kesungguhan diri, agar
hati kita tak keras,
dan menjadi lembut,
luwes serta mampu
memenuhi hati orang
lain.
Sumber : kaskus.us

Tidak ada komentar:

Posting Komentar